Ukurannya renik. Namun, di balik itu mereka telah merugikan negara miliaran rupiah. Pekerjaannya mencuri makanan di usus kita. Akibatnya, banyak murid SD yang seharusnya pandai seperti Dora menjadi kurang gizi dan ngantukan karena cacingan.
Begitulah cacing yang hidup di perut kita. Siklus hidupnya melewati tempat-tempat kotor. Namun, nama-nama mereka lumayan elok. Ada Trichuris trichuria (cacing cambuk), Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (tambang), serta Enterobius vermicularis (cacing keremi).
Di antara keluarga besar cacing itu, yang paling banyak bikin masalah memang cacing cambuk dan cacing gelang. Sejak zaman kumpeni, keluarga cacing ini sudah bikin repot para mantri kesehatan.
“Konon, di Indonesia, sekitar 60 – 80% anak usia sekolah menderita cacingan”, kata dr. Adi Sasongko, MA, Direktur Pelayanan Kesehatan Yayasan Kusuma I Buana, Jakarta, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang giat melakukan program pemberantasan cacingan.
Di dunia cacing berlaku peribahasa mati esa, berbilang selaksa. Tak heran kalau kemudian komunitasnya di perut gampang meluas.
Sebagai gambaran, seekor cacing gelang betina dewasa bisa menghasilkan 200.000 telur setiap hari. Jika di dalam perut terdapat lima ekor saja, mereka sanggup memproduksi satu juta telur dalam sehari!
Ukuran telurnya hanya dalam satuan mikron (1 mikron sama dengan seperseribu milimeter). Saking kecilnya, telur-telur itu hanya bisa dilihat dengan mikroskop.
Telur cacing keluar dari perut manusia bersama feses. Jika limbah manusia itu dialirkan ke sungai atau got, maka setiap tetes air akan terkontaminasi telur cacing. Meskipun Usrok buang hajat di WC, ia tetap saja bisa menyebarkan telur ini bila kakusnya meluber saat musim banjir.
Jika air yang telah tercemar dipakai Pak Ogah untuk menyirami tanaman atau aspal jalan, telur-telur itu naik ke darat. Begitu air mengering, mereka menempel pada butiran debu. Saking reniknya telur-telur itu tak akan pecah, meskipun dilindas ban mobil atau sepeda motor. Sambil menumpang debu, telur itu tertiup angin, lalu mencemari gorengan atau es doger yang dijual terbuka di pinggir-pinggir jalan.
Telur lainnya terbang ke tempat-tempat yang sering dipegang tangan manusia.
Lewat interaksi sehari-hari, mereka bisa berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Mereka akan masuk ke dalam perut jika si empunya tangan biasa makan tanpa cuci tangan.
Karena menular lewat makanan, korban cacingan umumnya anak-anak yang biasa jajan di pinggir jalan. Mereka juga bisa menelan telur cacing dari sayuran mentah yang dicuci kurang bersih. Misalnya, hanya dicelup-celup di baskom tanpa dibilas dengan air mengalir.
Ketika masuk ke perut seseorang, segera setelah menetas, cacing junior akan sungkem kepada emaknya yang tinggal di usus halus. Setelah mendapat restu, ia akan membantu emaknya menggerogoti isi perut Usrok.
Begitu mencapai umur 2 – 3 bulan, cacing itu akan menjelma menjadi seekor cacing betina dewasa yang siap bertelur. Sejak itu, ia akan membuat siklus baru buat cacing-cacing generasi berikutnya. Saat sudah dewasa, panjang badan mereka bisa mencapai 30 cm, lebih panjang dari pensil baru. Oh seraaam!
Namun, tak semua cacing segede itu. Cacing cambuk, misalnya, hanya sepanjang 5 cm. Produksi telurnya pun kalah jauh dari cacing gelang. Hanya 5 – 10 ribu telur per hari. Biasanya jumlah komplotan mereka jauh lebih banyak dari cacing gelang. Lebih kurang ajar lagi, mereka tidak hanya mencuri makanan di usus.
Setelah kenyang menyantap nasi dan telur, mereka beramai-ramai menyesap darah dari dinding usus. Dalam sehari, seekor cacing cambuk dewasa bisa minum darah 0,005 ml. Jika di dalam perut Usrok terdapat 100 ekor, maka dalam sebulan Usrok harus kehilangan darah sebanyak 15 ml. Tak mengherankan, penderita cacingan biasanya juga menderita kurang gizi dan anemia.
Kebiasaan minum darah juga dimiliki oleh cacing tambang. Meski bertubuh kecil (hanya sekitar 1 cm), mereka punya sepasang cakil yang bisa digunakan untuk mengigit permukaan usus. Jika mereka sedang ganas, gigitan mereka bisa sampai menyebabkan luka pada dinding usus.
Cara penularan cacing tambang pun lebih canggih. Tak cuma lewat makanan. Dua hari setelah keluar dari perut induknya, telur cacing tambang menetas menjadi larva. Ukuran larva ini juga superkecil, hanya dalam satuan mikron. Begitu kecilnya, larva bisa masuk ke dalam tubuh Usrok lewat pori-pori kulit.
Dengan menumpang arus peredaran darah, mereka bisa mencapai jantung dan paru-paru. Di dalam paru-paru mereka menembus alveolus (kantung paru-paru), lalu merangkak naik ke atas sampai di tenggorokan. Setelah melewati perjalanan berliku-liku, mereka ikut tertelan bersama makanan, dan akhirnya mencapai usus.
Karena daerah jajahannya yang sedemikian luas, cacing ini tak hanya menimbulkan masalah di usus, tapi juga di jaringan otot, paru-paru, dan lambung. Selain bisa menyebabkan anemia, cacing ini juga bisa menyebabkan radang paru-paru dan radang tenggorokan.
Umumnya, cacing perut memilih tinggal di usus halus yang hanyak berisi makanan. Meski ada juga yang tinggal di usus besar, dekat dengan “pintu keluar”, misalnya cacing keremi.
Di malam hari, cacing betina dewasa mengendap-endap pergi ke “katup belakang” untuk meletakkan telur. Ulahnya yang kurang ajar ini bisa menimbulkan rasa gatal hebat di sekitar anus Usrok.
Jika Usrok selalu menggaruk-garuk anusnya saat lagi tidur, bisa jadi itu pertanda cacing keremi sedang beraksi. Saat digaruk, telur-telur ini bersembunyi di jari dan kuku Usrok. Sebagian lagi menempel di seprei, bantal, guling, dan pakaiannya. Lewat kontak langsung, telur menular ke orang-orang yang tinggal serumah dengan Usrok. Lalu, siklus cacingan pun dimulai lagi.
Menurut Adi Sasongko, kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai penularan cacingan bisa diputus.
Pada saat bersamaan, anak-anak yang menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing, tak berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga.
Pemberantasan cacingan adalah kerja gotong royong yang butuh waktu bertahun-tahun. Negara maju sepenti Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing perut ini. Setelah kalah oleh Sekutu saat Perang Dunia II,
Jepang jatuh menjadi negara miskin. Karena miskin, mereka menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya, penularan cacing menjadi tak terkendali, sampai menyerang 80% penduduk. Butuh waktu 10 tahun untuk menurunkan angka kecacingan hingga di bawah 10%.
Pada kasus cacingan ringan sampai sedang, gejalanya sulit dikenali. Untuk memastikan, anak-anak harus diperiksa tinjanya dengan mikroskop. Jika terbukti mengandung telur cacing, ia harus segera diobati. Dengan obat cacing tentunya. Namun, bila lewat pemeriksaan ternyata anak-anak terbukti sehat, simpan saja obat itu di kotak obat untuk digunakan bila di dalam perut si Usrok berkeliaran cacing perut.
Sumber: Enggar Retnoningsih